Total Tayangan Halaman

Sabtu, 29 September 2012

MENGURAI FENOMENA ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT


MENGURAI FENOMENA ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT
A.    SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Mohammad Adib membedakan filsafat ke dalam tiga area besar, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan Filsafat barat. Filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa terdapat kesatuan fundamental antar manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos. Filsafat Cina lebih pragmatis, selalu diajarkan bagaimana manusia harus bertindak supaya keseimbangan antara surge dan dunia tercapai. Sedangkan filsafat barat dibedakan menjadi empat periode yaitu zaman kuno, zaman patristic dan skolastik, zaman modern, dan zaman sekarang. (2011: 20)
Filsafat dikatakan sebagai ilmu karena filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimana, mengapa, kemana, dan apakah. Pada dasarnya filsafat merupakan sebuah cara yang radikal dan menyeluruh, yaitu cara berpikir yang dalam sedalam – dalamnya, dan luas seluas – luasnya.  Hingga saat ini, perkembangan filsafat masih terus berlanjut demi kesempurnaannya dan melahirkan cabang baru dalam kajian – kajiannya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. (Sumantri dalam Adib, 2011: 23)
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang merupakan khazanah kekayaan mental yang mempengaruhi kehidupan kita. Setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai cirri – cirri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi). Adib menyebutkan ada enam sumber pengetahuan, yaitu pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisis, wahyu, dan keyakinan (2012: 26). Verhaak dan Imam menjelaskan bahwa filsafat pengetahuan memeriksa sebab musabab dan bertitik tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari – hari. Filsafat ini menggali paham tentang kebenaran, kepastian dan


tahap – tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan asal serta arah pengetahuan. (1989: 12)
Jalaludin dan Idi mengutip pernyataannya Al-Syaibany, bahwa filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis (http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
A.    PEMIKIRAN FILSAFAT ZAMAN YUNANI KUNO
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentarkomentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Periode Yunani kuno disebut periode filsafat alam, ditandai dengan munculnya ahli pikir tentang alam. Filsafat Yunani muncul dari pengaruh mitologi , mistisme, matematika, dan persepsi yang kental begitu rupa hingga segalanya nyaris tidak jelas dan seakan mengacaukan pandangan dunia. Pada masa ini muncul beberapa pemikiran filosofis pada masa Yunani kuno antara lain Permenides, Xenophanes, Thales, Aristoteles, Heraklitus, dan Phytagoras.
1.      Permenides pada abad ke – 5
Usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir baru mengenai hakikat ‘pengada’, yang bersifat abstrak dalam cara yang berbeda sama sekali. Bahwa yang kita dapat bicarakan dan pikirkan pastilah yang ada, sementara yang tiada tidak dapat, pikirkanlah itu, sebagaimana yang ditulis oleh Adib (2011: 27).
Parmenides menolak faham pluralisme dan realitas dalam berbagai macam perubahan: baginya segala sesuatu tidak dapat dibagi, realitas tidak berubah, dan hal-hal yang tampak dan berbeda hanyalah ilusi belaka, sehingga dapat dibantah dengan argumen/alasan. Tidak perlu disangsikan lagi, faham ini mendapat banyak kritikan tajam. 
2.      Xenophanes pada abad ke – 6
Menurutnya, jika banteng, singa dan kuda mempunyai tangan dan dapat melukis seperti manusia, kuda akan melukis para dewa berupa kuda, banteng akan melukis para dewa seperti sapi jantan, dan masing – masing akan melukis tubuh para dewa seperti tubuhnya sendiri (Adib, 2011: 27)
3.      Thales pada abad ke – 7
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air. 
4.      Aristoteles pada abad ke – 4
Seorang animis dengan salah satu idenya yang menarik adalah bahwa dunia sebagai suatu keseluruhan, kosmos, pada dasarnya hidup dan bersifat illahi.


5.      Heraklitus pada abad ke – 5
Terkenal karena pengamatannya yang jelas pada pemikiran kedua menjadi teka – teki mendalam dan dapat menjadi kabur yang menyatakan, alam mencintai ketersembunyiannya. Untuk sebuah peradaban yang putus asa dan mendambakan perdamaian karena perang yang berkepanjangan, ia menegaskan perang adalah bapa dan raja adalah segalanya.
6.      Phytagoras pada abad ke – 6
Seorang filsuf yang mempesona dengan berbagai teori tentang hakikat alam semesta dan yang membuat music, yang mempunyai keyakinan eksotis tentang hakikat roh dan cara terbaik menjalani kehidupan.

B.     ALIRAN – ALIRAN DALAM FILSAFAT
Susanto menyatakan bahwa perkembangan aliran filsafat berjalan seiring dengan perkembangan filsafat itu sendiri, dan kutipan dari S. Praja, lebih lanjut Susanto menuliskan bahwa aliran – aliran filsafat yang cukup berpengaruh antara lain rasionalisme, empirisme, kritisme, materialism, idealism, positivism, pragmatisisme, sekularisme, dan filsafat islam. (2011: 36)
1.      Rasionalisme
Rasionalisme adalah mashab filsafat ilmu yang berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala  pengetahuan. Dengan demikian, kriteria kebenaran  berbasis pada  intelektualitas. Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia. Sejak abad pencerahan, rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika (Rasionalisme continental). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Descartes, Leibniz dan Spinoza.
Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih berani bahkan mengatakan : “God exists only philosophically” (Jalaludin dan Idi dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.
Dalam bukunya, Susanto menyebutkan bahwa tokoh – tokoh yang terkenal dalam aliran rasional antara lain Rene Descartes (1595 – 1650), Nicholas Malerbrance (1638 – 1775), De Spinoza (1632 – 1677), Gottfried W. Leibniz (1646 – 1716), Christian Wolf (1679 – 1754), dan Blaise Pascal (1623 – 1662). Di antara tokoh tersebut, Rene Descartes dianggap yang paling berpengaruh. Descartes berpendapat bahwa suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal adalah cogito ergo sum, yang artinya ‘saya sedang menyangsikan, ada’. Untuk memperoleh hasil yang sahih, Descartes mengemukakan empat hal, yaitu (1) tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali saya melihat dengan jelas dan tegas (clearly and distincty); (2) pecahkanlah setiap kesuitan atau masalah menjadi sebanyak mungkin bagian; (3) bimbinglah pikiran dengan teratur dan bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks; (4) Selamanya harus dibuat perhitungan – perhitungan yang sempurna (Susanto, 2011: 37)
Aliran rasionalisme ini pada dasarnya menggunakan rasionalitas untuk membuktikan kebenaran, sehingga tidak ada suatupun keraguan yang mampu merobohkannya, karena menurut Descartes dalam dirinya terrdapat tiga ide bawaan yang sudah ada sejak lahir yaitu pemikiran, Allah, dan keluasan.
2.      Empirisme
Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87). Sedangkan Thomas Hobbes (1588 – 1679), salah satu tokoh empirisme beranggapan bahwa pengalaman merupakan awal dari pengenalan (Santosa, 2011: 38).
Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
3.      Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan struktural. Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat diobservasi (Francis & Dinnen dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19 dalam menjembatani antara ilmu alam dan humaniora, terutama dalam konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi yang disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87).  Kontribusi lain dari tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam memberikan argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang diklaim oleh tradisi empirisme.
4.      Idealism
Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.
Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah kata-kata”. Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi, mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.
Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai sebuah tradisi filosofi, idealisme tak bisa dipisahkan dengan gerakan Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu tokoh pemikir idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of pure reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang kesadaran manusia. Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’. Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang berada pada pikiran manusia. Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah  yang kemudian melahirkan konsep ‘spirit’-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme absolut’.
Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian. Tokoh-tokoh  yang meletakkan batu pertama bagi fondasi filsafat politik modern antara lain John Rawls yang menulis tentang teori keadilan dan Habermas (dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87) yang membuahkan karya ‘Communication action’. Melalui karya ini Habermas menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme konvensional. Bagi kaum idealis konvensional, kenyataan sejarah merupakan determinisme sejarah yang statis dan tidak dapat ditolak. Namun bagi Habermas, kenyataan sejarah adalah hasil dari dialektika dan komunikasi antar manusia. Dengan kata lain, Habermas memposisikan manusia menjadi subyek aktif dalam praktek-praktek politik dan dalam membangun institusi-institusi sosial.
5.      Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Santosa menyebutkan bahawa karya Comte yang paling terkenal adalah ‘Cours de Philosophie Positive’.
Salah satu bagian dari tradisin positivism adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87) pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme, positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai yang bersifat kualitatif (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87). Menjawab kritik ini, kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O. Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
6.      Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Pada awalnya pragmatisme dengan tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan lainnya. Peirce (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87), misalnya, lebih tertarik dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai semiotik. James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya, Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir secara kritis. Pendekatan Dewey yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. Ada tiga patokan yang disetujui oleh aliran ini, yaitu menolak segala intelektualisme, absolutism, dan meremehkan logika formal (Santosa, 2011: 41)
7.      Sekularisme
Prinsip esensial dari sekularisme adalah mencari kemajuan manusia dengan alat materi semata – mata. Tokoh dalam aliran ini adalah Jacob Holyoake yang merupakan bentuk peniadaan peran warna Kristiani pada seluruh kehidupan Barat, baik politik, ekonomi, social, maupun budaya pada umumnya (Santosa, 2011: 41)
8.      Filsafat Islam
Menurut Zar sebagaimana yang dikutip oleh Santosa menyebutkan bahwa filsafta islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Filsuf yang terkenal adalah Al-Kindy (801 – 873 M), melahirkan kitab yang terkenal yaitu “Fi al Filsafat al’Ula”, yang membahas masalah ketuhanan sesuai ajaran Islam. Bahwa Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian menjadi ada. Allah mustahil tidak ada dan akan selalu ada untuk selamanya.
Tokoh lain yang terkenal antara lain Al – Ghazali (1059 – 1111), dikenal sebagai filsuf pertama yang berhasil merekonsiliasi rasionalisme, ritualisme, dogmatism, dan mistisme, bahwa terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.


REFERENSI:
Adib, Drs. H. Moh. 2011. Filsafat ilmu, ontology, epistemology, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan Ed 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Verhaak, C. dan R. Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.

http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87 diunduh tanggal 22 September 2012


1 komentar: