MENGURAI FENOMENA ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT
A. SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Mohammad Adib membedakan filsafat ke dalam tiga area
besar, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan Filsafat barat. Filsafat India
berpangkal pada keyakinan bahwa terdapat kesatuan fundamental antar manusia dan
alam, harmoni antara individu dan kosmos. Filsafat Cina lebih pragmatis, selalu
diajarkan bagaimana manusia harus bertindak supaya keseimbangan antara surge
dan dunia tercapai. Sedangkan filsafat barat dibedakan menjadi empat periode
yaitu zaman kuno, zaman patristic dan skolastik, zaman modern, dan zaman
sekarang. (2011: 20)
Filsafat dikatakan sebagai ilmu karena
filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu bagaimana, mengapa, kemana,
dan apakah. Pada dasarnya filsafat merupakan sebuah cara yang radikal dan
menyeluruh, yaitu cara berpikir yang dalam sedalam – dalamnya, dan luas seluas
– luasnya. Hingga saat ini, perkembangan
filsafat masih terus berlanjut demi kesempurnaannya dan melahirkan cabang baru
dalam kajian – kajiannya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. (Sumantri
dalam Adib, 2011: 23)
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap
apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu. Ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang merupakan khazanah kekayaan mental yang mempengaruhi kehidupan
kita. Setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai cirri – cirri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi).
Adib menyebutkan ada enam sumber pengetahuan, yaitu pengalaman indera, nalar,
otoritas, intuisis, wahyu, dan keyakinan (2012: 26). Verhaak dan Imam
menjelaskan bahwa filsafat pengetahuan memeriksa sebab musabab dan bertitik
tolak pada gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari – hari. Filsafat ini
menggali paham tentang kebenaran, kepastian dan
tahap – tahapnya, objektivitas, abstraksi,
intuisi, dan asal serta arah pengetahuan. (1989: 12)
Jalaludin dan Idi mengutip pernyataannya
Al-Syaibany, bahwa filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur
yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan
memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan
nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya. Dalam hal
ini, filsafat, filsafat pendidikan, dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral. Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah
filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan
falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan
persoalan-persoalan pendidikan secara praktis (http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
A. PEMIKIRAN
FILSAFAT ZAMAN YUNANI KUNO
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di
Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa
filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar
filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi
filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid
Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah
“komentarkomentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang
sangat besar pada sejarah filsafat. Periode Yunani kuno disebut periode
filsafat alam, ditandai dengan munculnya ahli pikir tentang alam. Filsafat
Yunani muncul dari pengaruh mitologi , mistisme, matematika, dan persepsi yang
kental begitu rupa hingga segalanya nyaris tidak jelas dan seakan mengacaukan
pandangan dunia. Pada masa ini muncul beberapa pemikiran filosofis pada masa
Yunani kuno antara lain Permenides, Xenophanes, Thales, Aristoteles,
Heraklitus, dan Phytagoras.
1.
Permenides
pada abad ke – 5
Usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir baru mengenai
hakikat ‘pengada’, yang bersifat abstrak dalam cara yang berbeda sama sekali.
Bahwa yang kita dapat bicarakan dan pikirkan pastilah yang ada, sementara yang
tiada tidak dapat, pikirkanlah itu, sebagaimana yang ditulis oleh Adib (2011:
27).
Parmenides menolak faham pluralisme dan realitas dalam
berbagai macam perubahan: baginya segala sesuatu tidak dapat dibagi, realitas
tidak berubah, dan hal-hal yang tampak dan berbeda hanyalah ilusi belaka,
sehingga dapat dibantah dengan argumen/alasan. Tidak perlu disangsikan lagi,
faham ini mendapat banyak kritikan tajam.
2.
Xenophanes
pada abad ke – 6
Menurutnya, jika banteng, singa dan kuda mempunyai tangan dan dapat melukis
seperti manusia, kuda akan melukis para dewa berupa kuda, banteng akan melukis
para dewa seperti sapi jantan, dan masing – masing akan melukis tubuh para dewa
seperti tubuhnya sendiri (Adib, 2011: 27)
3.
Thales
pada abad ke – 7
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air.
4.
Aristoteles
pada abad ke – 4
Seorang animis dengan salah satu idenya yang menarik adalah bahwa dunia
sebagai suatu keseluruhan, kosmos, pada dasarnya hidup dan bersifat illahi.
5.
Heraklitus
pada abad ke – 5
Terkenal karena pengamatannya yang jelas pada pemikiran kedua menjadi
teka – teki mendalam dan dapat menjadi kabur yang menyatakan, alam mencintai
ketersembunyiannya. Untuk sebuah peradaban yang putus asa dan mendambakan
perdamaian karena perang yang berkepanjangan, ia menegaskan perang adalah bapa
dan raja adalah segalanya.
6.
Phytagoras
pada abad ke – 6
Seorang filsuf yang mempesona dengan berbagai teori tentang hakikat alam
semesta dan yang membuat music, yang mempunyai keyakinan eksotis tentang
hakikat roh dan cara terbaik menjalani kehidupan.
B. ALIRAN
– ALIRAN DALAM FILSAFAT
Susanto menyatakan bahwa perkembangan aliran
filsafat berjalan seiring dengan perkembangan filsafat itu sendiri, dan kutipan
dari S. Praja, lebih lanjut Susanto menuliskan bahwa aliran – aliran filsafat
yang cukup berpengaruh antara lain rasionalisme, empirisme, kritisme, materialism,
idealism, positivism, pragmatisisme, sekularisme, dan filsafat islam. (2011:
36)
1.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah mashab filsafat ilmu yang
berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dengan
demikian, kriteria kebenaran berbasis pada intelektualitas.
Strategi pengembangan ilmu model rasionalisme, dengan demikian, adalah
mengeksplorasi gagasan dengan kemampuan intelektual manusia. Sejak abad
pencerahan, rasionalisme diasosiasikan dengan pengenalan metode matematika
(Rasionalisme continental). Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah
Descartes, Leibniz dan Spinoza.
Benih rasionalisme sebenarnya sudah ditanam
sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah
proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami
dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para
pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya
adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya
disokong oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya didapat
dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih berani bahkan
mengatakan : “God exists only philosophically” (Jalaludin dan Idi dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
Sumbangan rasionalisme tampak nyata dalam
membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau
rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat
dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal
pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.
Dalam bukunya, Susanto menyebutkan bahwa
tokoh – tokoh yang terkenal dalam aliran rasional antara lain Rene Descartes
(1595 – 1650), Nicholas Malerbrance (1638 – 1775), De Spinoza (1632 – 1677),
Gottfried W. Leibniz (1646 – 1716), Christian Wolf (1679 – 1754), dan Blaise
Pascal (1623 – 1662). Di antara tokoh tersebut, Rene Descartes dianggap yang
paling berpengaruh. Descartes berpendapat bahwa suatu kebenaran yang tidak
dapat disangkal adalah cogito ergo sum,
yang artinya ‘saya sedang menyangsikan, ada’. Untuk memperoleh hasil yang
sahih, Descartes mengemukakan empat hal, yaitu (1) tidak menerima sesuatu pun
sebagai kebenaran, kecuali saya melihat dengan jelas dan tegas (clearly and distincty); (2) pecahkanlah
setiap kesuitan atau masalah menjadi sebanyak mungkin bagian; (3) bimbinglah
pikiran dengan teratur dan bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks;
(4) Selamanya harus dibuat perhitungan – perhitungan yang sempurna (Susanto,
2011: 37)
Aliran rasionalisme ini pada dasarnya
menggunakan rasionalitas untuk membuktikan kebenaran, sehingga tidak ada
suatupun keraguan yang mampu merobohkannya, karena menurut Descartes dalam
dirinya terrdapat tiga ide bawaan yang sudah ada sejak lahir yaitu pemikiran,
Allah, dan keluasan.
2.
Empirisme
Empirisme adalah sebuah orientasi filsafat
yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah.
Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa
yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat
kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu.
Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan
metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George
Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87). Sedangkan Thomas Hobbes
(1588 – 1679), salah satu tokoh empirisme beranggapan bahwa pengalaman
merupakan awal dari pengenalan (Santosa, 2011: 38).
Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah
lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun
pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata
rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan
apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam. Sejak saat itu,
empirisme menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengetahuan
sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan tradisi positivism. Namun
demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
3.
Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme
berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun
gagasan yang tebangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan
sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme.
Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan
pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi
dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks
ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara
teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang
bersifat abstrak dapat menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol
linguistik dan kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern
dari pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan
struktural. Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang bersifat nyata inilah
yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam pengembangan ilmu pengetahuan
sosial. Dalam area linguistik atau ilmu bahasa, de Saussure adalah salah satu
tokoh yang terpengaruh mengadopsi pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de
Saussure, obyek penelitian bahasa yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la
langue’ yaitu simbol-simbol linguistic yang dapat diobservasi (Francis &
Dinnen dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah
kontributif pada abad 19 dalam menjembatani antara ilmu alam dan humaniora,
terutama dalam konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi
yang disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87). Kontribusi lain
dari tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu
pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam memberikan
argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang diklaim oleh
tradisi empirisme.
4.
Idealism
Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat
yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami
secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan
eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman
inderawi. Pandangan Plato bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas
materinya dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealism radikal. Karya
dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran
idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan
tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan
pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik.
Salah satu sumbangan dari tradisi filsafat
idealisme adalah pengaruh idealism platonic dalam agama kristen. Dalam
Perjanjian Baru terdapat gagasan yang diagungkan, yakni “Permulaan adalah
kata-kata”. Pada gilirannya, dalam sejarah, pemikiran Kristen turut memberikan
andil dalam membentuk tradisi idealis terutama gagasan-gagasan dari Sain
Augustine dengan pengembangan konsep penyucian jiwa. Selain Kristen, pemikiran
yang turut memberikan saham bagi tradisi idealis adalah mistisisme Yahudi,
mistisisme Kristen dan pengembangan pemikiran matematika oleh bangsa-bangsa
Arab. Gerakan-gerakan pemikiran inilah yang kemudian membentuk dialektika
modern antara idealisme dan materialism sejak era renaisans.
Sumbangan idealism terhadap ilmu pengetahuan
modern sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan modern diniscayakan oleh kohesi antara
bukti-bukti empiris dan formasi teori. Kaum materialis mendasarkan pemikirannya
pada bukti-bukti empiris sedangkan kaum idealis pada formasi teori. Sebagai
sebuah tradisi filosofi, idealisme tak bisa dipisahkan dengan gerakan
Pencerahan dan filsafat Pasca Pencerahan Jerman. Salah satu tokoh pemikir
idealis yang tersohor adalah Immanuel Kant. Melalui bukunya “Critique of pure
reason” yang diterbitakan tahun 1781, Kant menentang pendapat tradisi tokoh
empiris seperti David Hume dan lain-lainnya. Kant mengatakan bahwa pengetahuan
dan pemahaman dunia memerlukan kategori dan pandangan yang berada dalam ruang
kesadaran manusia. Gagasan Kant yang terkenal adalah ‘idealisme transedental’.
Dalam konsep ini Kant berargumen bahwa ide-ide rasional dibentuk tidak saja
oleh ‘phenomenal’ tapi juga ‘noumenal’, yakni kesadaran transedental yang
berada pada pikiran manusia. Generasi idealis berikutnya dipelopori oleh, Georg
Hegel. Hegel mengenalkan gagasan pendekatan dialektis yang tidak memihak baik
gagasan ‘kesadaran mental’ Kant maupun ‘bukti-bukti material’ dari kaum
empiris. Pikiran-pikiran Hegel inilah yang kemudian melahirkan konsep
‘spirit’-sebuah konsep yang integral dengan kelahiran tradisi ‘idealisme
absolut’.
Dengan demikian, pemikiran filsafat idealisme
dibangun terutama oleh gagasan-gagasan Hegel dan Kant. Namun demikian, bangunan
filsafat politik modern yang berpaham bahwa manusia dapat mengatur dunia
melalui ilmu pengetahuan telah membuktikan vitalitas aliran idealisme Kantian.
Tokoh-tokoh yang meletakkan batu pertama bagi fondasi filsafat politik
modern antara lain John Rawls yang menulis tentang teori keadilan dan Habermas
(dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
yang membuahkan karya ‘Communication action’. Melalui karya ini Habermas
menjadi tokoh idealis yang mengoreksi idealisme konvensional. Bagi kaum idealis
konvensional, kenyataan sejarah merupakan determinisme sejarah yang statis dan
tidak dapat ditolak. Namun bagi Habermas, kenyataan sejarah adalah hasil dari
dialektika dan komunikasi antar manusia. Dengan kata lain, Habermas
memposisikan manusia menjadi subyek aktif dalam praktek-praktek politik dan
dalam membangun institusi-institusi sosial.
5.
Positivisme
Positivisme adalah doktrin filosofi dan ilmu
pengetahuan sosial yang menempatkan peran sentral pengalaman dan bukti empiris
sebagai basis dari ilmu pengetahuan dan penelitian. Terminologi positivisme
dikenalkan oleh Auguste Comte untuk menolak doktrin nilai subyektif, digantikan
oleh fakta yang bisa diamati serta penerapan metode ini untuk membangun ilmu
pengetahuan yang diabdikan untuk memperbaiki kehidupan manusia. Santosa
menyebutkan bahawa karya Comte yang paling terkenal adalah ‘Cours de Philosophie Positive’.
Salah satu bagian dari tradisin positivism
adalah sebuah konsep yang disebut dengan positivisme logis. Positivisme ini
dikembangkan oleh para filosof yang menamakan dirinya ‘Lingkaran Vienna’ (Calhoun
dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87)
pada awal abad ke duapuluh. Sebagai salah satu bagian dari positivisme,
positivisme logis ingin membangun kepastian ilmu pengetahuan yang disandarkan
lebih pada deduksi logis daripada induksi empiris. Kerangka pengembangan ilmu
menurut tradisi positivisme telah memunculkan perdebatan tentang apakah ilmu
pengetahuan sosial memang harus “diilmiahkan”. Kritik atas positivism berkaitan
dengan penggunaan fakta-fakta yang kaku dalam penelitian sosial. Menurut para
oponen positivism, penelitian dan pengembangan ilmu atas realitas sosial dan
kebudayaan manusia tidak dapat begitu saja direduksi kedalam kuantifikasi angka
yang bisa diverikasi karena realitas sosial sejatinya menyodorkan nilai-nilai
yang bersifat kualitatif (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87). Menjawab kritik ini,
kaum positivis mengatakan bahwa metode kualitatif yang digunakan dalam
penelitian sosial tidak menemukan ketepatan karena sulitnya untuk di verifikasi
secara empiris.
Tokoh-tokoh yang paling berpengaruh dalam
mengembangkan tradisi positivisme adalah Thomas Kuhn, Paul K. Fyerabend, W.V.O.
Quine, and filosof lainnya. Pikiran-pikiran para tokoh ini membuka jalan bagi
penggunaan berbagai metodologi dalam membangun pengetahuan dari mulai studi
etnografi sampai penggunaan analisa statistik.
6.
Pragmatisme
Pragmatisme adalah mashab pemikiran filsafat
ilmu yang dipelopori oleh C.S Peirce, William James, John Dewey, George Herbert
Mead, F.C.S Schiller dan Richard Rorty. Tradisi pragmatism muncul atas reaksi
terhadap tradisi idealis yang dominan yang menganggap kebenaran sebagai entitas
yang abstrak, sistematis dan refleksi dari realitas. Pragmatisme berargumentasi
bahwa filsafat ilmu haruslah meninggalkan ilmu pengetahuan transendental dan
menggantinya dengan aktifitas manusia sebagai sumber pengetahuan. Bagi para
penganut mashab pragmatisme, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah sebuah
perjalanan dan bukan merupakan tujuan.
Pada awalnya pragmatisme dengan
tokoh-tokohnya mengambil jalan berpikir yang berbeda antara satu dengan
lainnya. Peirce (Calhoun dalam http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87), misalnya, lebih tertarik
dalam meletakkan praktek dalam bentuk klarifikasi gagasan-gagasan. Peirce
adalah tokoh yang menggagas konsep bahasa sebagai media dalam relasi
instrumental antara manusia dengan benda. Gagasan ini kemudian disebut sebagai
semiotik. James, tokoh yang mempopulerkan pragmatism, lebih tertarik dalam
menghubungkan antara konsepsi kebenaran dengan area pengalaman manusia yang
lain seperti; kepercayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan. Tokoh selanjutnya,
Dewey, menjadikan pragmatisme sebagai basis dari praktek-praktek berpikir
secara kritis. Pendekatan Dewey yang pragmatis dalam pendidikan, misalnya,
menitikberatkan pada penguasaan proses berpikir kritis daripada metode hafalan
materi pelajaran.
Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah
dalam praktek demokrasi. Dalam area ini pragmatisme memfokuskan pada kekuatan
individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah yang dihadapi. Ada tiga
patokan yang disetujui oleh aliran ini, yaitu menolak segala intelektualisme, absolutism,
dan meremehkan logika formal (Santosa, 2011: 41)
7.
Sekularisme
Prinsip
esensial dari sekularisme adalah mencari kemajuan manusia dengan alat materi
semata – mata. Tokoh dalam aliran ini adalah Jacob Holyoake yang merupakan bentuk
peniadaan peran warna Kristiani pada seluruh kehidupan Barat, baik politik,
ekonomi, social, maupun budaya pada umumnya (Santosa, 2011: 41)
8.
Filsafat Islam
Menurut
Zar sebagaimana yang dikutip oleh Santosa menyebutkan bahwa filsafta islam
adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian,
manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Filsuf yang terkenal
adalah Al-Kindy (801 – 873 M), melahirkan kitab yang terkenal yaitu “Fi al
Filsafat al’Ula”, yang membahas masalah ketuhanan sesuai ajaran Islam. Bahwa
Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian menjadi
ada. Allah mustahil tidak ada dan akan selalu ada untuk selamanya.
Tokoh
lain yang terkenal antara lain Al – Ghazali (1059 – 1111), dikenal sebagai
filsuf pertama yang berhasil merekonsiliasi rasionalisme, ritualisme, dogmatism,
dan mistisme, bahwa terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan
kehendak Allah semata.
REFERENSI:
Adib, Drs. H. Moh.
2011. Filsafat ilmu, ontology,
epistemology, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan Ed 2. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam dimensi ontologis,
epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Verhaak, C. dan R.
Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Gramedia.
http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87
diunduh tanggal 22 September 2012
good.lanjutkan bu
BalasHapus