PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu
adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis,
karena kelahiran ilmu tidak lepas dari filsafat, dan perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu
tergantung pada Dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Pada
penelitian alam jagad raya, muncullah matematika, astronomi, fisika, dan lain
sebagainya. Ilmu – ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam
bentuk yang lebih kecil, aplikatif, dan lebih bermakna, serta bermanfaat.
Cakupan obyek filsafat
lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan
yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non
empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu. Sebab, dari
filsafat-lah, ilmu – ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia
dapat menikmati ilmu sekaligus buahnya, yaitu teknologi.
John Naisbitt (2002:
23) mengatakan bahwa era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang
ditandai dengan beberapa indicator, yaitu: (1) masyarakat lebih menyukai
penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi; (2)
masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi; (3) masyarakat mengaburkan
perbedaan antara yang nyata dan yang semu; (4) masyarakat menerima kekerasan
dengan sesuatu yang wajar; (5) masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk
mainan; (6) masyrakat menjalankan kehidupan yang berjarak dan terenggut. Ilmu
dan teknologi dalam konteks tersebut kehilangan ruhnya yang fundamental karena
manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi. Diperlukan suatu
pandangan yang komprehensif tentang ilmu dan nilai – nilai yang berkembang di
tengah masyarakat.
Manusia adalah ciptaan
Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain, karena
manusia diberikan daya berpikir. Daya pikir inilah yang menemukan teori – teori
ilmiah dan teknologi. Secara kodrati, manusia dianugerahi akal, daya pikir,
yang tidak diperoleh oleh makhluk lain, yang dapat dipergunakan semaksimal
mungkin untuk kemampuan berpikir tersebut. Filsafat merupakan sarana yang baik
untuk memahami bagaimana cara berpikir tersebut. Filsafat di bidang sains
tumbuh dari positivism, post positivism,
post modernism, yang mendeskripsikan relasi normative antara hipotesis
dengan evidensi, dan berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil atau besar
secara sederhana (Noeng Muhadjir, 2001: 1).
FILSAFAT
ILMU DAN META-SCIENCE
Sumber dari filsafat
adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang sehat yang berusaha
keras dengan sungguh – sungguh untuk mencari kebenaran dan akhirnya memperoleh
kebenaran (Susanto, 2011: 1). Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat
menurut kalangan para filosof adalah: (1) upaya spekulatif untuk menyajikan
suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas; (2) upaya
untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata; (3) upaya untuk
menentukan batasa – batas dan jangkauan pengetahuan baik sumber, hakekat,
keabsahan, dan nilainya; (4) penyelidikan kritis atas pengandaian – pengandaian
dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; (5)
disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu melihat yang dikatakan dan
mengatakan yang dilihat (Lorens Bagus, 1996: 242).
Menurut Noeng Muhadjir
(2001: 11), obyek studi filsafat ilmu setidaknya ada dua yang substantif dan
dua yang instrumentatif. Dua yang substantive adalah kenyataan dan kebenaran,
sedang dua yang instrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi. Bagi
positivistik, yang nyata itu yang factual ada; sedang bagi rasionalistik, yang
nyata ada itu yang ada dan cocok dengan akal; bagi realism, yang nyata itu yang
riil eksis, dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif, sedangkan bagi pendekatan
phenomenologik, kenyataan itu terkonstruk dalam moral.
Fungsi ilmu adalah
menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan dating atau memberi
pemaknaan. Membuat penjelasan, memprediksi, ataupun pemaknaan untuk mengejar
kepastian probabilistic dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun
reflektif. Dikenal pula pembuktian apriori dan aposteriori dalam pembuktian,
namun tidak tepat bila mengidentikkan yang induktif dengan yang aposteriori.
Bila ilmu dikembangkan sampai kepada metascience,
metaideologi, dan metafisik, bisa menggunakan logika paradigmatik dengan ragam
pola pikir terutama yang divergen atau horizontal, serta mengembangkan
pemaknaan menjangkau kebenaran etik dan transenden (Noeng Muhadjir, 2001: 14).
Lebih lanjut Noeng
Muhadjir menjelaskan bahwa makna pada desain realism metafisik merentang dari
pencarian bukti sensual, logic, etik yang kesemuanya itu berada dalam ranah
transenden. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menggembirakan, yang memberi
sukses, dibalik yang nampaknya memberi duka atau mengecewakan. Sedangkan rahmah
adalah ketika kita ikhlas dan tawakkal serta menyerahkan keadilan pada Tuhan.
Usaha yang kita lakukan dengan tetap gigih, tidak tahu kapan kita meninggal,
dan kapan kita sukses, menjadikan kita tidak risau akan lebih memberi hikmah
dan rahmah kepada kita (Noeng Muhadjir, 2001: 270).
DIMENSI AKSIOLOGIS
Aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juag menunjukkan kaidah – kaidah
yang harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu ked lam praktis. Aksiologi memuat
pemikiran tentang masalah nilai – nilai termasuk nilai – nilai tinggi dari
Tuhan. Aksiologi juga mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai – nilai
kehidupan yang bertaraf tinggi). Filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan
ilmiah pada hal – hal persepsi manusia akan kenyataan, pemahaman berbagai
dinamika alam, saling keterkaitan antara logika dan matematika, berbagai
keadaan dari keberadaan – keberadaan teoritis, berbagai sumber pengetahuan dan
pertanggungjawabannya,
hakikat manusia, nilai – nilainya yang berada di lingkungan
dekatnya (
Susanto, 2010: 117).
Beberapa
definisi tentang aksiologi yaitu teori tentang nilai (Burhanudin Salam, 1997:
168), teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh ( Jujun, 2000: 234). Permasalahan yang muncul dalam aksiologi adalah
masalah tentang nilai, yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai pada
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Conny
R Semiawan (2005: 158) menjelaskan tentang etika sebagai kajian tentang hakikat
moral dan keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan bahwa
etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang – kadang
disebut dengan moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi atau
ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti
dengan zero tolerance. Hal ini
berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi oleh
prinsip toleransi.
ETIKA DAN ESTETIKA KEILMUAN
Makna
etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama,
etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan. Kedua, merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal – hal, perbuatan – perbuatan, atau
manusia – manusia lain. Nilai itu objektif atau subjektif adalah sangat
tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi
subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia
menjadi tolok ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat fisik atau psikis (Susanto, 2010: 118). Nilai itu objektif,
jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai
objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar – benar ada
(Irmayanti, 2001: 23).
Tentang
nilai dalam ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen – eksperimen. Kebebasan
inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang
ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. NIlai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dan tidak terikat nilai – nilai subjektif. Bagi ilmuwan, kebenaran
ilmiah adalah hal yang sangat penting (Amsal Bahtiar, 2011: 167).
Pokok
persoalan dalam etika keilmuwan selalu mengacu pada elemen – elemen kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang
bersifat utilitaristik (kegunaan).
Hati nurani merupakan penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang
dihubungkan dengan perilaku manusia. Nilai dan norma yang harus berada pada
etika keilmuwan adalah nilai dan norma moral, dan penerapan ilmu pengetahuan
yang telah dihasilkan harus memperhatikan nilai – nilai kemanusiaan, social,
dan agama (Amsal Bahtiar, 2011: 171).
Tanggung
jawab seorang ilmuwan di bidang etika bukan lagi memberi informasi namun harus
memberi contoh. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Sehingga lmu harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah
yang menjadi konteksnya tersebut.
Mengenai
estetika, Semiawan (2005: 159) menjelaskan sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari
tentang keindahan seni. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu
persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah
dipahami oleh khalayak luas, dan juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan
mode – mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu. Dalam banyak hal,
satu atau lebih sifat – sifat dasar sudah dengan sendirinya terkandung di dalam
suatu pengetahuan apabila sudah lengkap mengandung sifat – sifat dasar
pembenaran, sistemik, dan intersubjektif (Susanto, 2011: 119).
Lebih
lanjut Susanto menjelaskan bahwa salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh
ilmu adalah bahwa ilmu harus berlaku secara umum, lintas ruang dan waktu.
Namun, ternyata sifat – sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan
sifat ini lebih nyata pada beberapa bidang ilmu tertentu. Keterbatasan sifat
universal berkaitan erat dengan karakter universalnya. Ada perbedaan karakter
ilmu – ilmu social dengan ilmu – ilmu eksakta. Fenomena dalam ilmu sejarah
sangat bergantung dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena mekanika terbebas
dari ruang dan waktu. Pengetahuan ilmiah itu bukan saja dimengerti artinya,
tetapi juga maknanya. Jadi memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan
tingkat kepercayaan cukup besar.
MASALAH ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU
Ilmu
dalam pengembangannya sering menggunakan values
praktis, trial and error, yang
menjadi masalah adalah apabila error
itu tidak memberi akibat fatal, masih dapat ditolerir. Oleh karena itu, perlu
ditetapkan standar eksperimentasi dalam pengembangan ilmu. Etika ilmu merupakan
acuan moral bagi pengembagan ilmu, yang dapat berupa visi, misi, keputusan,
pedoman perilaku, dan kebijakan moral dalam pengembangan ilmu (Noeng Muhadjir,
2001: 272).
Kemajuan
ilmu dan teknologi dari masa ke mas adalah ibarat mata rantai yang tidak
terputus satu sama lain. Melihat sejarah perkembangan ilmu zaman kontemporer,
adalah mengamati pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut dari rentetan sejarah
ilmu sebelumnya.
Perkembangan ilmu di zaman modern,
ditandai dengan berkembangya dekonstruksi teori – teori yang dianggap apan pada
masa pertengahan atau zaman klasik. Pertama,
Copernicus (1473 – 1543) yang memperkenalkan teori heliosentris yang
menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, dan planet – planet berputar
mengelilingi bumi. Hal ini bertentangan dengan keyakinan sebelumnya, geosentris, yang menyatakan bahwa
bumilah yang menjadi pusat tata surya. Kedua,
metode induktif yang diperkenalkan oleh Francis Bacon (1560 – 1626), yang telah
memberikan sumbangan yang penting dalam menembus metode berpikir deduktif yang
penggunaannya secara berlebihan telah menyebabkan dunia keilmuan mengalami
kemacetan. Francis Bacon menganjurkan dalam menuntut ilmu, mengumpulkan
sebanyak mungkin fakta pengalaman untuk selanjutnya dianalisis (Amsal Bahtiar,
2011: 70).
Pythagoras (580 – 500 SM) mengembalikan
segala sesuatu kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun yang di ala mini yang
terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan.
Menurutnya, bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran.
Realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal yang
berlawanan. Contoh penerapannya dalam seni music adalah nada musik yang dapat
dinikmati adalah hasil dari gabungan bilangan 1 (ganjil) dan bilangan 2
(genap). Kalau segala – galanya adalah bilangan, maka unsur bilangan adalah
unsur yang terdapat dalam sesuatu. Unsur – unsur bilangan adalah genap dan
ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga jagad raya yang merupakan
harmoni yang mendamaikan hal – hal yang berlawanan, yang artinya segala sesuatu
berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan (Amsal Bahtiar, 2011: 27).
Henri Poincare (1854 – 1912) memberi
sumbangan pada matematika murni, mekanika angkasa, dan filsafat ilmu, yang
antara lain menekankan peranan konvensi dalam perumusan teori – teori ilmiah.
Ia mempertahankan pendapat bahwa sebuah hokum ilmiah dipandang benar, tidak
bergantung pada setiap keputusan yang didasarkan pengalaman, tetapi hanya
menggambarkan keputusan tersirat dari para ilmuwan dalam menggunakan hukum
sebagai konvensi yang bersifat makna dari sebuah konsep ilmiah. Apabila sebuah
hokum adalah benar secara apriori, hal itu adalah karena telah dinyatakan dalam
sebuah cara sedemikian rupa sehingga tidak ada evidensi empiris dapat berlaku
terhadapnya (Redja Mudyahardjo, 2002: 131).
Al Kindy (801 – 873) di dunia barat
dikenal dengan nama Alkindus, yang mengarang 241 buku dalam berbagai bidang,
termasuk di dalamnya logika, aritmatika, dan matematika. Al Kindy termasuk
penganut aliran eklektisisme, dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat
Aristoteles, dalam psikologi menganut Plato, dandalam hal etika mengambil
pendapat Socrates dan Plato. Unsur – unsur pemikiran yang memperngaruhi
filsafat Al Kindy adalah: (1) pemikiran Phytagoras tentang matematika sebagai
jalan ke arah filsafat; (2) pemikiran Aristoteles dalam fisika dan
metafisikanya berbeda pendapat mengenai kekalnya alam; (3) pemikiran Plato dan
Aristoteles dalam etiknya; (4) pemikiran Plato dalam kejiwaannya; (5) wahyu dan
iman dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat – sifat-Nya; (6) pemikiran
Mutazilah dalam menekan rasio dan menafsirkan ayat – ayat Al Qur’an (Sudarsono,
1996: 25).
MATEMATIKA SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
Matematika
sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik matematika
sebagai pengembangan aljabar maupun statistic. Filosofi modern juga tidak akan
tepat bila tidak dilandasi pengetahuan tentang matematika. Matematika dalam
ilmu social juga dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan
sebagainya. Jujun S Sumantri (2001: 229) mengatakan bahwa matematika mempunyai
fungsi yang sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan
pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Untuk
melakukan kegiatan ilmiah secara lebih baik, diperlukan sarana berpikir. Penguasaan
sarana berpikir ini merupakan suatu hal yang bersifat imperative bagi seorang
ilmuwan, karena tanpa menguasainya maka kegiatan ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan.
Sarana berpikir ini pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah
dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Oleh karena itu, sebelum
memperlajari sarana – sarana berpikir ilmiah seharusnya menguasai langkah –
langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika,
dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam
seluruh proses berpikir ilmiah. Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses
logika deduktif dan induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam
berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam
berpikir induktif (Amsal Bahtiar, 2011: 188).
Matematika sebagai bahasa
Matematika
adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan
yang akan disampaikan. Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan, dan untuk
menutupi kekurangan bahasa vaerbal, digunakanlah matematika, karena matematika
adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional
dari bahasa verbal.
Lambang
– lambing dari matematika yang dibuat secara artificial dan individual yang mengrupakan
perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang dikaji. Matematika mempunyai
kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan
bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara
kuantitatif. Dalam bahasa verbal, bila kita membandingkan dua objek yang
berlainan, umpamanya gajah dan semut. Akan sulit membandingkan keduanya. Jika
ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan
semut, dengan bahasa verbal tidak dapat dikatakan apa – apa.
Bahasa
verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Penjelasan
dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, sehingga
menyebabkan daya prediktif dan control ilmu kurang cepat dan tepat. Untuk
mengatasinya, dikembangkan konsep pengukuran. Melalui pengukuran, kita dapat
mengetahui dengan tepat berapa panjang sebuah logam dan berapa pertambahan
panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini, maka
pernyataan ilmiah yang merupakan pernyataan kualitatif “sebatang logam kalau
dipanaskan akan memanjang”, dapat diganti dengan pernyataan matematika yang
lebih eksak, umpamanya Pt = Po(1 + xt),
dengan Pt adalah panjang logam pada temperature nol dan x adalah koefisien pemuaian logam.
Sifat
kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control dari
ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan
pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu
mengalami prkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini
merupakan suatu hal yang imperative bila kita menghendaki daya prediksi dan
control yang lebih tepat dan cermat dalam ilmu (Amsal Bahtiar, 2011: 191).
Matematika sebagai sarana berpikir
deduktif
Matematika
merupakan ilmu deduktif. Istilah deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah
– masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang
terdapat dalam ilmu – ilmu empiric, melainkan didasarkan atas deduksi – deduksi
(penjabaran). Dewasa ini yang paling banyak dianut orang adalah bahwa deduksi
merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum – hukum serta aturan – aturan logika
formal. Orang beranggapan bahwa tidaklah mungkin titik tolak yang benar menghasilkan
kesimpulan yang tidak benar.
Matematika
merupakan pengetahuan dan sarana berpikir deduktif. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa artificial (bahasa buatan). Keistimewaan bahasa ini adalah
terbebas dari aspek emotif dan afektif serta jelas kelihatan bentuk
hubungannya. Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan –
pernyataannya mempunyai sifat yang jelas. Pola berpikir deduktif banyak
digunakan baik dalam bidang ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses
pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis – premis yang kebenarannya
telah ditentukan. Kesimpulan yang ditarik dalam pemikiran deduktif merupakan
konsekuensi logis dari fakta – fakta yang mendasarinya, yang disebut dengan
silogisme, sebagai perwujudan pemikiran deduktif yang sempurna.
Matematika untuk ilmu alam dan ilmu
social
Matematika
merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Fungsi matematika menjadi
sangat penting dalam perkembangan berbagai macam ilmu pengetahuan. Perhitungan
matematis menjadi dasar ilmu teknik, memberikan inspirasi kepada pemikiran di
bidang social dan ekonomi, bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna
kepada kegiatan arsitektur dan seni rupa.
Kontribusi
matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan penggunaan
lambang – lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran. Hal ini sesuai
dengan objek ilmu alam, yaitu gejala – gejala alam yang dapat diamati dan
dilakukan penelaahan yang berulang – ulang. Sedangkan ilmu – ilmu social dapatditandai oleh kenyataan bahwa kebanyakan
dari masalah yang dihadapinya tidak mempunyai pengukuran yang mempergunakan
bilangan dan pengertian tentang ruang adalah sama sekali tidak relevan.
Logika Matematika
Logika
adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai aturan – aturan berpikir,
seperti setengah tidak lebih besar daripada satu. Berpikir tidak dapat
dijalankan semaunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir
membutuhkan jenis – jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat
dan struktur tertentu, karena pikiran kita tunduk pada hukum – hukum tertentu.
Sebagai perlengkapan ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan,
alami, dan dapat menyelesaikan fungsinya dengan baik, lebih – lebih dalam hal
yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun tidak demikian halnya apabila
menghadapi hal – hal yang sulit, harus dilakukan pemikiran yang mendalam
sebelum mencapai kesimpulan.
Amsal
Bahtiar mengatakan bahwa belajar logika ilmiah perlu menegtahui beberapa hal,
diantaranya: (1) Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan, berpikir sesuai
dengan hokum dan prinsip, bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan
dialektika, yakni proses perubahan keadaan. Logika jangan hanya dijadikan
mekanik dan dikembangkan kesanggupan mengadakan eavluasi terhadap pemikiran
orang lain dan sanggup menunjukkan kesalahannya. Logika ilmiah melengkapi dan
mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis. (2) Sanggup
mengenali jenis – jenis, macam – macam, nama – nama, sebab – sebab kesalahan
pemikiran, dan sanggup menghindari, serta menjelaskan segala bentuk dengan
segala sebab kesalahan dengan semestinya.
Hubungan antara Sarana Ilmiah
Bahasa, Logika, dan Matematika
Untuk
dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperllukan sarana yang
berupa bahasa, logika, dan Matematika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal
yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupkan alat
berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada
orang lain.
Bahasa
merupakan sarana komunikasi, maka segala sesuatu yang berhubungan dengna
komunikasi tidak terlepas dari bahas, seperti berpikir sistematis dalam
menggapai ilmu pengetahuan. Tanpa menguasai kemampuan berbahasa, seseorang
tidak dapat melakukan kegiatan ilmiah secara sistematis dan teratur.
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Suatu penarikan
kesimpulan baru dianggap valid, apabila dilakukan menurut cara yang benar. Cara
penarikan kesimpulan ini dinamakan logika. Logika adalah pengkajian untuk
berpikir secara sohih. Logika induktif erta hubungannya dengan penarikan
kesimpulan dari kasus khusus ke kasus umum. Sedangkan logika deduktif membantu
dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang
bersifat individual.
Penalaran
secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan – pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas menyususn argumentasi yang
diakhiri dengan pernyataan bersifat umum. Deduksi bersifat sebaliknya,
menggunakan cara berpikir yang disebut silogisme. Pernyataan yang mendukukng
silogisme dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Matematika adalah
pengetahuan yang disusun secara deduktif, dan merupakan bahasa yang
melambangkan serangkaian makan dari pernyataan yang ingin disampaikan.
KESIMPULAN
Cakupan obyek filsafat
lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan
yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non
empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu. Fungsi ilmu adalah
menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan dating atau memberi
pemaknaan bahwa etika sebagai
prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang – kadang disebut dengan
moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Hal
ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi
oleh prinsip toleransi.
Tanggung
jawab seorang ilmuwan di bidang etika bukan lagi memberi informasi namun harus
memberi contoh. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Sehingga lmu harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah
yang menjadi konteksnya tersebut. Matematika sebagai ilmu dasar, dipergunakan
dalam berbagai bidang ilmu, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun
statistic. Filosofi modern juga tidak akan tepat bila tidak dilandasi
pengetahuan tentang matematika. Matematika dalam ilmu social juga dikembangkan
sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan sebagainya. Matematika adalah
pengetahuan yang disusun secara deduktif, dan merupakan bahasa yang
melambangkan serangkaian makan dari pernyataan yang ingin disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bahtiar. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press.
A Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologism, Epistemologism,
dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Irmayanti Budianto. 2001. Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan:
REfleksi Kritis atas Kerja Ilmiah. Depok: FAkultas Sastra UI.
Jujun Sumantri. 2000. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Sinar Harapan.
Naisbitt, John. Et. All. 2002. High Tech High Touch. Jakarta: Pustaka
Mizan.
Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat ilmu positivism, postpositivism, dan postmodernism. Yogyakarta:
Rakesarasin.
Redja
Mudyaharja. 2001. Filsafat Ilmu
pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudharsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar