Total Tayangan Halaman

Minggu, 11 November 2012

TELAAH AKSIOLOGI ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU MATEMATIKA


PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari filsafat, dan perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada Dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Pada penelitian alam jagad raya, muncullah matematika, astronomi, fisika, dan lain sebagainya. Ilmu – ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil, aplikatif, dan lebih bermakna, serta bermanfaat.
Cakupan obyek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu. Sebab, dari filsafat-lah, ilmu – ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu sekaligus buahnya, yaitu teknologi.
John Naisbitt (2002: 23) mengatakan bahwa era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi, yang ditandai dengan beberapa indicator, yaitu: (1) masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi; (2) masyarakat takut dan sekaligus memuja teknologi; (3) masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu; (4) masyarakat menerima kekerasan dengan sesuatu yang wajar; (5) masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan; (6) masyrakat menjalankan kehidupan yang berjarak dan terenggut. Ilmu dan teknologi dalam konteks tersebut kehilangan ruhnya yang fundamental karena manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi. Diperlukan suatu pandangan yang komprehensif tentang ilmu dan nilai – nilai yang berkembang di tengah masyarakat.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain, karena manusia diberikan daya berpikir. Daya pikir inilah yang menemukan teori – teori ilmiah dan teknologi. Secara kodrati, manusia dianugerahi akal, daya pikir, yang tidak diperoleh oleh makhluk lain, yang dapat dipergunakan semaksimal mungkin untuk kemampuan berpikir tersebut. Filsafat merupakan sarana yang baik untuk memahami bagaimana cara berpikir tersebut. Filsafat di bidang sains tumbuh dari positivism, post positivism, post modernism, yang mendeskripsikan relasi normative antara hipotesis dengan evidensi, dan berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil atau besar secara sederhana (Noeng Muhadjir, 2001: 1).

FILSAFAT ILMU DAN META-SCIENCE
Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh – sungguh untuk mencari kebenaran dan akhirnya memperoleh kebenaran (Susanto, 2011: 1). Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan para filosof adalah: (1) upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas; (2) upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata; (3) upaya untuk menentukan batasa – batas dan jangkauan pengetahuan baik sumber, hakekat, keabsahan, dan nilainya; (4) penyelidikan kritis atas pengandaian – pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; (5) disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu melihat yang dikatakan dan mengatakan yang dilihat (Lorens Bagus, 1996: 242).
Menurut Noeng Muhadjir (2001: 11), obyek studi filsafat ilmu setidaknya ada dua yang substantif dan dua yang instrumentatif. Dua yang substantive adalah kenyataan dan kebenaran, sedang dua yang instrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi. Bagi positivistik, yang nyata itu yang factual ada; sedang bagi rasionalistik, yang nyata ada itu yang ada dan cocok dengan akal; bagi realism, yang nyata itu yang riil eksis, dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif, sedangkan bagi pendekatan phenomenologik, kenyataan itu terkonstruk dalam moral.
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan dating atau memberi pemaknaan. Membuat penjelasan, memprediksi, ataupun pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistic dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif. Dikenal pula pembuktian apriori dan aposteriori dalam pembuktian, namun tidak tepat bila mengidentikkan yang induktif dengan yang aposteriori. Bila ilmu dikembangkan sampai kepada metascience, metaideologi, dan metafisik, bisa menggunakan logika paradigmatik dengan ragam pola pikir terutama yang divergen atau horizontal, serta mengembangkan pemaknaan menjangkau kebenaran etik dan transenden (Noeng Muhadjir, 2001: 14).
Lebih lanjut Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa makna pada desain realism metafisik merentang dari pencarian bukti sensual, logic, etik yang kesemuanya itu berada dalam ranah transenden. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menggembirakan, yang memberi sukses, dibalik yang nampaknya memberi duka atau mengecewakan. Sedangkan rahmah adalah ketika kita ikhlas dan tawakkal serta menyerahkan keadilan pada Tuhan. Usaha yang kita lakukan dengan tetap gigih, tidak tahu kapan kita meninggal, dan kapan kita sukses, menjadikan kita tidak risau akan lebih memberi hikmah dan rahmah kepada kita (Noeng Muhadjir, 2001: 270).

DIMENSI AKSIOLOGIS
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juag menunjukkan kaidah – kaidah yang harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu ked lam praktis. Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai – nilai termasuk nilai – nilai tinggi dari Tuhan. Aksiologi juga mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai – nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal – hal persepsi manusia akan kenyataan, pemahaman berbagai dinamika alam, saling keterkaitan antara logika dan matematika, berbagai keadaan dari keberadaan – keberadaan teoritis, berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya,                       hakikat manusia, nilai – nilainya yang berada di lingkungan dekatnya                                           ( Susanto, 2010: 117).
Beberapa definisi tentang aksiologi yaitu teori tentang nilai (Burhanudin Salam, 1997: 168), teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh ( Jujun, 2000: 234). Permasalahan yang muncul dalam aksiologi adalah masalah tentang nilai, yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai pada filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Conny R Semiawan (2005: 158) menjelaskan tentang etika sebagai kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang – kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Hal ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi.

ETIKA DAN ESTETIKA KEILMUAN
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal – hal, perbuatan – perbuatan, atau manusia – manusia lain. Nilai itu objektif atau subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau psikis (Susanto, 2010: 118). Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar – benar ada (Irmayanti, 2001: 23).
Tentang nilai dalam ilmu pengetahuan, seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen – eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. NIlai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dan tidak terikat nilai – nilai subjektif. Bagi ilmuwan, kebenaran ilmiah adalah hal yang sangat penting (Amsal Bahtiar, 2011: 167).
Pokok persoalan dalam etika keilmuwan selalu mengacu pada elemen – elemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani merupakan penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia. Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuwan adalah nilai dan norma moral, dan penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan harus memperhatikan nilai – nilai kemanusiaan, social, dan agama (Amsal Bahtiar, 2011: 171).
Tanggung jawab seorang ilmuwan di bidang etika bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Sehingga lmu harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya tersebut.
Mengenai estetika, Semiawan (2005: 159) menjelaskan sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari tentang keindahan seni. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas, dan juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu. Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat – sifat dasar sudah dengan sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila sudah lengkap mengandung sifat – sifat dasar pembenaran, sistemik, dan intersubjektif (Susanto, 2011: 119).
Lebih lanjut Susanto menjelaskan bahwa salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu adalah bahwa ilmu harus berlaku secara umum, lintas ruang dan waktu. Namun, ternyata sifat – sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan sifat ini lebih nyata pada beberapa bidang ilmu tertentu. Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter universalnya. Ada perbedaan karakter ilmu – ilmu social dengan ilmu – ilmu eksakta. Fenomena dalam ilmu sejarah sangat bergantung dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena mekanika terbebas dari ruang dan waktu. Pengetahuan ilmiah itu bukan saja dimengerti artinya, tetapi juga maknanya. Jadi memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan tingkat kepercayaan cukup besar.

MASALAH ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU
Ilmu dalam pengembangannya sering menggunakan values praktis, trial and error, yang menjadi masalah adalah apabila error itu tidak memberi akibat fatal, masih dapat ditolerir. Oleh karena itu, perlu ditetapkan standar eksperimentasi dalam pengembangan ilmu. Etika ilmu merupakan acuan moral bagi pengembagan ilmu, yang dapat berupa visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral dalam pengembangan ilmu (Noeng Muhadjir, 2001: 272).
Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa ke mas adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Melihat sejarah perkembangan ilmu zaman kontemporer, adalah mengamati pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut dari rentetan sejarah ilmu sebelumnya.
            Perkembangan ilmu di zaman modern, ditandai dengan berkembangya dekonstruksi teori – teori yang dianggap apan pada masa pertengahan atau zaman klasik. Pertama, Copernicus (1473 – 1543) yang memperkenalkan teori heliosentris yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, dan planet – planet berputar mengelilingi bumi. Hal ini bertentangan dengan keyakinan sebelumnya, geosentris, yang menyatakan bahwa bumilah yang menjadi pusat tata surya. Kedua, metode induktif yang diperkenalkan oleh Francis Bacon (1560 – 1626), yang telah memberikan sumbangan yang penting dalam menembus metode berpikir deduktif yang penggunaannya secara berlebihan telah menyebabkan dunia keilmuan mengalami kemacetan. Francis Bacon menganjurkan dalam menuntut ilmu, mengumpulkan sebanyak mungkin fakta pengalaman untuk selanjutnya dianalisis (Amsal Bahtiar, 2011: 70).
            Pythagoras (580 – 500 SM) mengembalikan segala sesuatu kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun yang di ala mini yang terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan. Menurutnya, bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal yang berlawanan. Contoh penerapannya dalam seni music adalah nada musik yang dapat dinikmati adalah hasil dari gabungan bilangan 1 (ganjil) dan bilangan 2 (genap). Kalau segala – galanya adalah bilangan, maka unsur bilangan adalah unsur yang terdapat dalam sesuatu. Unsur – unsur bilangan adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga jagad raya yang merupakan harmoni yang mendamaikan hal – hal yang berlawanan, yang artinya segala sesuatu berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan (Amsal Bahtiar, 2011: 27).
            Henri Poincare (1854 – 1912) memberi sumbangan pada matematika murni, mekanika angkasa, dan filsafat ilmu, yang antara lain menekankan peranan konvensi dalam perumusan teori – teori ilmiah. Ia mempertahankan pendapat bahwa sebuah hokum ilmiah dipandang benar, tidak bergantung pada setiap keputusan yang didasarkan pengalaman, tetapi hanya menggambarkan keputusan tersirat dari para ilmuwan dalam menggunakan hukum sebagai konvensi yang bersifat makna dari sebuah konsep ilmiah. Apabila sebuah hokum adalah benar secara apriori, hal itu adalah karena telah dinyatakan dalam sebuah cara sedemikian rupa sehingga tidak ada evidensi empiris dapat berlaku terhadapnya (Redja Mudyahardjo, 2002: 131).
            Al Kindy (801 – 873) di dunia barat dikenal dengan nama Alkindus, yang mengarang 241 buku dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya logika, aritmatika, dan matematika. Al Kindy termasuk penganut aliran eklektisisme, dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi menganut Plato, dandalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato. Unsur – unsur pemikiran yang memperngaruhi filsafat Al Kindy adalah: (1) pemikiran Phytagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat; (2) pemikiran Aristoteles dalam fisika dan metafisikanya berbeda pendapat mengenai kekalnya alam; (3) pemikiran Plato dan Aristoteles dalam etiknya; (4) pemikiran Plato dalam kejiwaannya; (5) wahyu dan iman dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat – sifat-Nya; (6) pemikiran Mutazilah dalam menekan rasio dan menafsirkan ayat – ayat Al Qur’an (Sudarsono, 1996: 25).

MATEMATIKA SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
Matematika sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistic. Filosofi modern juga tidak akan tepat bila tidak dilandasi pengetahuan tentang matematika. Matematika dalam ilmu social juga dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan sebagainya. Jujun S Sumantri (2001: 229) mengatakan bahwa matematika mempunyai fungsi yang sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara lebih baik, diperlukan sarana berpikir. Penguasaan sarana berpikir ini merupakan suatu hal yang bersifat imperative bagi seorang ilmuwan, karena tanpa menguasainya maka kegiatan  ilmiah yang baik tidak dapat dilakukan. Sarana berpikir ini pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Oleh karena itu, sebelum memperlajari sarana – sarana berpikir ilmiah seharusnya menguasai langkah – langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif (Amsal Bahtiar, 2011: 188).

Matematika sebagai bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang akan disampaikan. Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan, dan untuk menutupi kekurangan bahasa vaerbal, digunakanlah matematika, karena matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal.
Lambang – lambing dari matematika yang dibuat secara artificial dan individual yang mengrupakan perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang dikaji. Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dalam bahasa verbal, bila kita membandingkan dua objek yang berlainan, umpamanya gajah dan semut. Akan sulit membandingkan keduanya. Jika ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, dengan bahasa verbal tidak dapat dikatakan apa – apa.
Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, sehingga menyebabkan daya prediktif dan control ilmu kurang cepat dan tepat. Untuk mengatasinya, dikembangkan konsep pengukuran. Melalui pengukuran, kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebuah logam dan berapa pertambahan panjangnya kalau logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini, maka pernyataan ilmiah yang merupakan pernyataan kualitatif “sebatang logam kalau dipanaskan akan memanjang”, dapat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak, umpamanya Pt = Po(1 + xt), dengan Pt adalah panjang logam pada temperature nol dan x adalah koefisien pemuaian logam.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan control dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami prkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperative bila kita menghendaki daya prediksi dan control yang lebih tepat dan cermat dalam ilmu (Amsal Bahtiar, 2011: 191).

Matematika sebagai sarana berpikir deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Istilah deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah – masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya yang terdapat dalam ilmu – ilmu empiric, melainkan didasarkan atas deduksi – deduksi (penjabaran). Dewasa ini yang paling banyak dianut orang adalah bahwa deduksi merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum – hukum serta aturan – aturan logika formal. Orang beranggapan bahwa tidaklah mungkin titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan yang tidak benar.
Matematika merupakan pengetahuan dan sarana berpikir deduktif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa artificial (bahasa buatan). Keistimewaan bahasa ini adalah terbebas dari aspek emotif dan afektif serta jelas kelihatan bentuk hubungannya. Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan – pernyataannya mempunyai sifat yang jelas. Pola berpikir deduktif banyak digunakan baik dalam bidang ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis – premis yang kebenarannya telah ditentukan. Kesimpulan yang ditarik dalam pemikiran deduktif merupakan konsekuensi logis dari fakta – fakta yang mendasarinya, yang disebut dengan silogisme, sebagai perwujudan pemikiran deduktif yang sempurna.

Matematika untuk ilmu alam dan ilmu social
Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan berbagai macam ilmu pengetahuan. Perhitungan matematis menjadi dasar ilmu teknik, memberikan inspirasi kepada pemikiran di bidang social dan ekonomi, bahkan pemikiran matematis dapat memberikan warna kepada kegiatan arsitektur dan seni rupa.
Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan penggunaan lambang – lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran. Hal ini sesuai dengan objek ilmu alam, yaitu gejala – gejala alam yang dapat diamati dan dilakukan penelaahan yang berulang – ulang. Sedangkan ilmu – ilmu social  dapatditandai oleh kenyataan bahwa kebanyakan dari masalah yang dihadapinya tidak mempunyai pengukuran yang mempergunakan bilangan dan pengertian tentang ruang adalah sama sekali tidak relevan.


Logika Matematika
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai aturan – aturan berpikir, seperti setengah tidak lebih besar daripada satu. Berpikir tidak dapat dijalankan semaunya. Realitas begitu banyak jenis dan macamnya, maka berpikir membutuhkan jenis – jenis pemikiran yang sesuai. Pikiran diikat oleh hakikat dan struktur tertentu, karena pikiran kita tunduk pada hukum – hukum tertentu. Sebagai perlengkapan ontologisme, pikiran kita dapat bekerja secara spontan, alami, dan dapat menyelesaikan fungsinya dengan baik, lebih – lebih dalam hal yang biasa, sederhana, dan jelas. Namun tidak demikian halnya apabila menghadapi hal – hal yang sulit, harus dilakukan pemikiran yang mendalam sebelum mencapai kesimpulan.
Amsal Bahtiar mengatakan bahwa belajar logika ilmiah perlu menegtahui beberapa hal, diantaranya: (1) Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan, berpikir sesuai dengan hokum dan prinsip, bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses perubahan keadaan. Logika jangan hanya dijadikan mekanik dan dikembangkan kesanggupan mengadakan eavluasi terhadap pemikiran orang lain dan sanggup menunjukkan kesalahannya. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis. (2) Sanggup mengenali jenis – jenis, macam – macam, nama – nama, sebab – sebab kesalahan pemikiran, dan sanggup menghindari, serta menjelaskan segala bentuk dengan segala sebab kesalahan dengan semestinya.

Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Logika, dan Matematika
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperllukan sarana yang berupa bahasa, logika, dan Matematika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Bahasa merupkan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Bahasa merupakan sarana komunikasi, maka segala sesuatu yang berhubungan dengna komunikasi tidak terlepas dari bahas, seperti berpikir sistematis dalam menggapai ilmu pengetahuan. Tanpa menguasai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan ilmiah secara sistematis dan teratur.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap valid, apabila dilakukan menurut cara yang benar. Cara penarikan kesimpulan ini dinamakan logika. Logika adalah pengkajian untuk berpikir secara sohih. Logika induktif erta hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus khusus ke kasus umum. Sedangkan logika deduktif membantu dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual.
Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan – pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas menyususn argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan bersifat umum. Deduksi bersifat sebaliknya, menggunakan cara berpikir yang disebut silogisme. Pernyataan yang mendukukng silogisme dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif, dan merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makan dari pernyataan yang ingin disampaikan.

KESIMPULAN
Cakupan obyek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan yang non empiris. Karena itulah, filsafat disebut sebagai induk ilmu. Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan dating atau memberi pemaknaan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang – kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Hal ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip toleransi.
Tanggung jawab seorang ilmuwan di bidang etika bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Sehingga lmu harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya tersebut. Matematika sebagai ilmu dasar, dipergunakan dalam berbagai bidang ilmu, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistic. Filosofi modern juga tidak akan tepat bila tidak dilandasi pengetahuan tentang matematika. Matematika dalam ilmu social juga dikembangkan sebagai sosiometri, psychometric, ekonometri, dan sebagainya. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif, dan merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makan dari pernyataan yang ingin disampaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bahtiar. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Press.

A Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologism, Epistemologism, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.

Irmayanti Budianto. 2001. Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan: REfleksi Kritis atas Kerja Ilmiah. Depok: FAkultas Sastra UI.

Jujun Sumantri. 2000. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Naisbitt, John. Et. All. 2002. High Tech High Touch. Jakarta: Pustaka Mizan.

Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat ilmu positivism, postpositivism, dan postmodernism. Yogyakarta: Rakesarasin.

Redja Mudyaharja. 2001. Filsafat Ilmu pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudharsono. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar